Pakar sejarah yang juga penulis buku Atlas Walisanga Dr. Agus Sunyoto pernah mengatakan bahwa Walisongo sebagai tokoh masyarakat sangat menjaga dan melestarikan bahasa daerah dimana mereka menyebarkan agama Islam. Mereka mempertahankan kata ‘sembahyang’ daripada kata ’shalat’ untuk praktik ibadah harian yang lima waktu.
Begitu juga kata ‘puasa’, Wali Songo lebih memilih kata itu daripada kata,‘shaum’ atau ‘shiyam’. Dari situ, Wali Songo menyebarkan agama Islam tanpa mengubah identitas kebudayaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang diwakili oleh bahasa setempat. Jadi pribumisasi Islam merupakan terobosan cara dakwah yang dipakai Wali Songo yang kemudian sempat di dengungkan kembali oleh Gus Dur.
Wali Songo membiarkan bahasa yang berkembang di masyarakat tempat dakwah mereka sebagaimana apa adanya. Dalam menjalankan praktik dakwah, Wali Songo tidak berupaya melakukan proses Arabisasi dari sisi bahasa. Bagi mereka, proses Arabisasi bahasa akan membuat jurang dalam antara mereka dan masyarakat setempat, dan ini tentunya berbeda dengan para dai atau aktivis dakwah sekarang yang justru lebih menonjolkan hal - hal yang berbau ke arab - araban, baik dari segi bahasa maupun penampilan. Mungkin saja andai Walisanga hidup di zaman sekarang, maka mereka akan di tuduh sebagai "muslim kejawen" oleh orang- orang yang latah bergaya arabian yang sering mengklaim diri sebagai Muslim Kaffah.
Penghargaan Wali Songo terhadap bahasa masyarakat menjadi satu penyebab keberhasilan dakwah mereka dalam waktu singkat. Dalam masa 50 tahun dakwah, masyarakat bahkan para adipati yang berkuasa di sepanjang pesisir utara Jawa di tahun 1515 telah memeluk Islam.
Masih menurut Dr. Agus Sunyoto bahwa Sebelum tahun itu, sejumlah pendakwah Islam sudah datang di Indonesia sejak berabad-abad. Namun, mereka tidak dapat diterima oleh masyarakat karena pendekatan Arabisasi yang digunakan.
Jadi, sudah sepantasnya lah para aktifis dakwah meniru metode dakwah para Walisanga dengan kearifan lokalnya, bukan memaksakan hal - hal yang berbau arab yang belum tentu Islami. INGAT !!!!! yang kita butuhkan itu ISLAMISASI, bukan ARABISASI, yang kita Ikuti itu ISLAMNYA MUHAMMAD SAW, dan BUKAN ISLAM NYA ( orang ) ARAB.
ANTARA ARABI DAN ISLAMI
Terkadang pikiran kita mudah dibelokkan oleh hal-hal yang bersifat fisik dan simbolik. Mengenakan busana ala Timur Tengah (sorban, gamis, cadar ) memiliki nama ke-Arab-Arab-an, sering berbicara dengan istilah-istilah Arab, sudah bisa dikategorikan sebagai “Islami”.
Islami adalah keberserahan diri yang bersifat universal. Ajaran Islam lintas ruang dan waktu. Bahkan sebenarnya tidak selalu terkait dengan status ‘Muslim’ itu sendiri. Seorang Non-Muslim yang setiap perkataan dan perbuatannya bisa memberikan manfaat dan kebaikan bagi kehidupan semesta alam, terlepas dari dia tidak ber-KTP dan beritual ‘Islam’, berarti dia telah berlaku Islami, meskipun ia tetap tidak bisa di sebut Muslim. Seperti halnya jika kita melihat seorang bule yang mengikuti tata cara Jawa, orang menyebut dia njawani, meskipun secara fisik ia tidak akan pernah bisa di sebut orang Jawa.
Mari kita renungkan kembali, sudah seberapa Islamikah kita!
Bukanlah memanggil kerabat kita “ya akhi ya ukhti“ atau berucap “jazakallahu khairan katsiran” yang menjadikan perkataan kita Islami, akan tetapi segala perkataan kita yang menyejukkan, mententramkan, mendamaikan, mencerdaskan, dan memberi manfaat, itulah perkataan Islami yang sesungguhnya.
Bukanlah alunan nada dengan iringan musik gambus ala padang pasir disebut sebagai musik Islami, akan tetapi lagu-lagu jenis apa pun yang memberikan inspirasi dan semangat keberserahan diri kepada Allah, menebar kasih sayang, menjunjung perdamaian, dan memberi semangat hiduplah yang disebut sebagai musik Islami.
Bukanlah berteriak “Allahu Akbar” sambil melakukan tindak kekerasan kepada mereka yang berbeda aliran atau menteror orang-orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan disebut perilaku Islami, akan tetapi berlaku sabar dan menghargai mereka yang berbeda keyakinan dan aliranlah yang layak disebut sebagai perilaku Islami.
Memang kita tidak bisa menghindari seratus persen pengaruh Arab ke dalam penerapan ajaran Islam sehari-hari, karena Al Qur’an memang diturunkan di Arab. Budaya Arab juga memiliki banyak keunggulan dan kebaikan. Seperti halnya salam yang telah menjadi simbol pemersatu umat Islam seluruh dunia: “Salaamun’alaikum”. Tulisan ini pun tidak mengajak umat muslim untuk menjauhi apalagi anti terhadap kebudayaan Arab.
Akan tetapi sekali lagi : Poinnya adalah ”Islami” bukanlah “Arabi”!
Penulis: Halim Widjaya Saputra
Official Fanspage Facebook: Remaja Dan Pemuda Islam
0 komentar:
Posting Komentar